IST/Alsep Yosendo
Bekas gudang senjata semasa penjajahan Belanda di Pasar Muara Tembesi
Kelurahan Pasar Muara Tembesi, begitulah ranah sejarah ini terlisensi secara administratif di kecamatan Muara Tembesi, Kabupaten Batanghari. Berada sekitar 22 kilometer dari ibukota kabupaten, Muara Bulian dan 85 kilometer dari pusat Provinsi Jambi.
Tak sulit untuk dapat menuju ke sini. Aksesnya bisa ditempuh dengan melewati Jalan Lintas Sumatera. Disinilah pusat pemerintahan kolonial Belanda di Jambi pada masa penjajahan dulu. Bukti-bukti fisik sejarah masih terang-benderang terdapat di sini. Sayang, para pelaku sejarah sedikit sekali yang bisa ditemukan.
Adalah Benteng Permukiman Kolonial Belanda menjadi destinasi saya yang pertama. Saya menjumpai beberapa warga di sini. Penuturan Iwan (30) pada saya, akhir Mei lalu menceritakan, bahwa awalnya benteng ini didirikan sebagai tempat kediaman dan perkantoran penjajah Belanda. Setelah kemerdekaan benteng ini menjadi asrama Tentara Keamanan Rakyat (sekarang TNI).
Beberapa rumah kuno Belanda ini pun telah berpindah-pindah tuan. Jepang sempat merebut benteng pada 1942. Kemudian setelah Jepang kalah perang, TNI merebut benteng ini seiring dengan kemerdekaan RI 17 Agustus 1945.
Peninggalan Belanda yang masih layak huni itusekarang ditempati warga. Sisanya menjadi saksi bisu sejarah yang tak terawat, tergerus usia. Kayu-kayu yang digunakan untuk membuat rumah tersebut berasal dari pohon tembesu dan bulian, dua jenis pohon khas kabupaten Batanghari. Tak heran jika daerah ini kemudian dinamai Pasar Muara Tembesi.
Tak jauh dari rumah-rumah kuno tersebut terdapat sebuah bangunan tua yang menjadi ruang persenjataan Belanda. Saat ini bangunan itu tak ubahnya puing-puing rumah yang terbakar. Atap-atapnya telah roboh. Dindingnya pun kusam menghitam.
Seperti kebanyakan daerah di Provinsi Jambi, kelurahan ini merupakan Daerah Aliran Sungai (DAS) Batanghari, sungai terpanjang di pulau Sumatera. Masih menurut Iwan dan tokoh masyarakat setempat, sungai Batanghari di Pasar Tembesi inilah yang menginspirasi pembuatan Logo Kabupaten Batanghari.
“Cobolah kau tengok, sungei di depan tu, kayak cabang ketapel!”, ujar Iwan. Sungai ini terpecah dua arah, ke kiri menuju kabupaten Sarolangun dan Bangko serta ke kanan menuju kabupaten Bungo dan Tebo. Warna biru pada logo yang seperti huruf “Y” itu adalah representasi percabangan sungai Batanghari (Batang Tembesi) yang ada di Pasar Muara Tembesi.
Iwan lantas mengarahkan Saya untuk menemui Bachtiar Oedin (91). Ia adalah pelaku sejarah yang menjadi juru kunci napak tilas sejarah saya kali ini. Ia adalah mantan TKR. Masyarakat lumrah memanggilnya Datuk Bachtiar.
Menurut penuturan Bachtiar, Belanda menduduki Pasar Muara Tembesi sejak tahun 1916 dalam perang Rajo Batu atau Sarikat Abang. “Waktu tu kito kalah, Belando pake Senjato kito cuma bambu runcing,”, terangnya, Senin (23/5). Sejak saat itulah Belanda memerintah dan menjajah di Pasar Muara Tembesi.
Bachtiar turut menambahkan, dulunya disekitar Benteng, terdapat sumur tempat pembuangan mayat-mayat pejuang kemerdekaan. “Jepang lebih kejam daripado Belanda,” tegasnya.
Sumur kematian itu diprakarsai Jepang yang merebut Benteng dari Belanda pada tahun 1942. Jepang menjajah hanya 3 tahun, tapi sangat membuat rakyat menderita. Sayangnya sumur pembuangan mayat tersebut tidak ditemukan lagi lokasi pastinya, karena telah amblas akibat abrasi.
Destinasi lain yang tak kalah bersejarah adalah Penjara Peninggalan Belanda. Ironisnya, bangunan yang harusnya bisa jadi pembelajaran sejarah itu kini hanya bangunan tua yang kurang terurus.
“Disano tu penjaro orang-orang yang bangkang samo Belando,” timpal Bachtiar. Terbesit difikiran saya, betapa susah kehidupan nenek moyang kita di zaman penjajahan. Bagian depan penjara saat ini telah dihuni warga. Sisa bangunan di belakangnya lah yang masih orisinil, saksi penindasan kolonialisme Belanda di ranah Jambi.
Satu hal yang tak kalah atraktif, adalah ditemukannya Bioskop pertama di kabupaten Batanghari yang didirikan pada era 1950an. “Wah, bioskop tu ado sebelum aku lahir,” ujar Pesek (55), petugas kebersihan Pasar Muara Tembesi saat ditemui disekitar bangunan.
Itu salah satu bukti Pasar Tembesi merupakan kota tua penuh sejarah. ”Bioskop tu cabang bioskop Mega yang ado di Jambi,” sebut Bachtiar.
Dengan segala peninggalan sejarah dan perkembangannya pasca-kemerdekaan itu, Bachtiar menyayangkan Muara Tembesi gagal menjadi ibukota Kabupaten Batanghari. “Kito cumo kalah sekok suaro dari Muaro Bulian,” sesalnya.
Ia menyayangkan kekalahan Pasar Muara Tembesi saat musyawarah penentuan ibukota kabupaten Batanghari. “Pasar Muaro Tembesi ko pusat pemerintahan, sudah ado sebelum Muaro Bulian dan Paal 5 Muaro Tembesi ado,” ujarnya.
Syahdan, kini Pasar Muara Tembesi menjadi kelurahan biasa seperti tak ada keistimewaan. Ia kalah maju dalam sektor pembangunan dibandingkan dengan Muara Bulian.
Kelurahan Pasar Muara Tembesi, walaupun kini hanya sebuah kelurahan kecil, namun ia adalah kota tua yang menyimpan sejuta kenangan sejarah. Kota sejarah yang wajib kita lindungi. Kota tua terpinggirkan, yang seharusnya bisa diangkat menjadi destinasi strategis wisata sejarah.
sumber Alsep Yosendo*
Weitsss kok masih 0 komentar:
Posting Komentar